PEUSIJUK, Budaya Leluhur Mayarakat Aceh yang Masih dijaga Hingga Sekarang

Keberagaman adat dan budaya di Indonesia merupakan identitas bangsa yang perlu diperkenalkan ke mancanegara. Karena keberagaman ini juga sebagai bagian dari salah satu kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan. Walaupun zaman telah berubah, akan tetapi berbagai macam tradisi tetap dilaksanakan oleh masyarakat. Salah satu dari sekian banyaknya tradisi yang sering di lakukan oleh masyarakat, yang menarik kita bahas adalah “peusijuk”. Peusijuk adalah salah satu tradisi yang hingga sekarang masih kerap dan sering dilakukan oleh masyarakat Aceh.

Hampir serupa dengan ritual tepung mawar, peusijuk sering dilaksanakan untuk memperingati kegiatan-kegiatan tertentu. Misalnya dalam prosesi pernikahan, pembukaan usaha, memakai kendaraan baru, menempati rumah baru, penyambutan tamu, saat akan berpergian jauh dan banyak hal atau kegiatan lain yang dianggap sakral oleh masyarakat Aceh.

Selain itu, peusijuek juga dipercaya menjadi wasilah atau jalan agar Allah memberi jalan damai apabila ada pertikaian kecil yang terjadi di tengah masyarakat.

Pada umumnya, kegiatan peusijuk akan dipimpin oleh seorang tokoh agama semisal Tengku Imum, Ustadz, Tokoh Ulama, atau tetua adat di suatu wilayah atau desa tertentu.

Melalui media di Banda Aceh, Kepala Bidang Benda Pusaka atau Khazanah Adat Majelis Adat (MAA) Kota Banda Aceh mengatakan bahwa adat peusijuk merupakan proses mendinginkan atau musyawarah. Salah satu alasan diadakan kegiatan Peusijuk adalah apabila baru saja terjadi suasana-suasana mencekam yang diakibatkan oleh pertikaian kecil di tengah masyarakat.

Tujuannya untuk saling memaafkan dan menyambung kembali tali silaturahmi. Ini adalah salah satu alasan kenapa dilaksanakannya kegiatan Peusijuk dari sekian banyak hal lain yang tadi telah penulis sampaikan di atas.

Beberapa peusijuk biasanya juga diselenggarakan sebagai kegiatan doa bersama meminta kelancaran kegiatan, syukuran atas suatu pencapaian, hingga sebagai doa baik untuk memulai kehidupan baru seperti pernikahan. Yang pasti, bagi masyarakat Aceh, peusijuk adalah salah satu wasilah dan cara memohon kepada Allah SWT, agar Allah SWT menyertai kebaikan dalam setiap hal yang mereka lakukan.

Awal mula tradisi adat Peusijuk

Peusijuk telah lahir sejak lama. Bahkan ada yang menyebutnya sekitar ratusan tahun yang lalu. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui pasti kapan sebenarnya awal mula budaya Peusijuk ini lahir. Hal itu terjadi akibat kurangnya dokumentasi atau peninggalan sejarah tentang Peusijuk itu sendiri. Hanya saja banyak yang mengabarkan bahwa budaya ini hadir bersamaan saat disebarkannya agama Islam di Aceh.

Dalam bahasa Indonesia, peusijuk dapat diartikan sebagai “menepung tawari”, yaitu ungkapan yang berarti membuat sesuatu menjadi sejuk dan dingin. Selain itu, sebutan tersebut juga dapat diartikan sebagai harapan untuk memperoleh kesejukan, berupa keselamatan dan keadaan baik dalam hidup.

Peusijuk dapat dilakukan terhadap manusia ataupun benda-benda. Melalui budaya peusijuk, seseorang berharap kepada Allah SWT agar dapat dipermudah dalam hidupnya, baik secara pribadi maupun dalam masyarakat.

Misalnya, dengan dipeusijuk, seseorang yang akan bepergian jauh berharap dapat sampai pada tempat tujuannya dengan selamat. Juga pada prosesi pernikahan, peusijuk dapat diartikan sebagai permohonan agar perkawinan tersebut diberi kebahagiaan, penuh keberkahan, serta keselamatan.

Dalam masyarakat Aceh, peusijuk menjadi media yang biasa digunakan untuk menyatakan rasa syukur dan gembira. Salah satunya karena seseorang telah selamat atau telah selesai melaksanakan ibadah haji ke tanah suci.

Dalam pelaksanaannya, peusijuk dilakukan dengan menyebut asma-asma Allah. Diawali dengan membacakan basmalah, kemudian shalawat, dan baru dibacakan doa-doa.

Cara melaksanakan Kegiatan Peusijuk itu pertama sekali adalah dengan cara sipreuk breuh padee (menyirami benda/orang dengan biji padi dicampur beras menggunakan tangan) ke seluruh badan hingga melampaui kepala orang yang dipeusijuk. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali setelah mengucapkan basmalah.

Dilanjutkan dengan memercikkan air menggunakan dedaunan tertentu yang telah diikat menjadi satu pada kedua telapak tangan ornag yang di peusijuk, lalu ke badan, melewati kepala orang yang dipeusijuk. Langkah ini dilakukan cukup satu kali dan dilaksanakan secukupnya, tidak perlu sampai basah.

Berikutnya, bu leukat (nasi ketan) diusapkan pada telinga sebelah kanan orang yang sedang dipeusijuk. Akan tetapi tidak semua pelaksanaan Peusijuk Bu Leukat ini harus disediakan. Terakhir, dilakukan teumeutuek (bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi uang) kepada orang yang dipeusijuk.

Biasanya, orang yang dipeusijuk akan duduk dalam posisi bersimpuh di atas tilam meusugou (tilam kecil untuk duduk yang diberi sarung yang disulam), walaupun tidak terlalu diharuskan untuk duduk di atas tempat ini, apabila tempat ini tidak ada, boleh juga untuk duduk diatas Kasur atau tempat apa saja yang memungkinkan orang yang dipeusijuk bisa duduk dengan baik. Kemudian biasanya diletakkan disekeliling orang yang dipeusijuk bantal meutampok (pada ujung-ujung bantal yang berbentuk guling dipasang kain, 4 segi yang disulam dengan benang emas), dan orang yang dipeusijuk harus menengadahkan tangan seperti posisi berdoa yang diletakkan di atas paha.

Prosesi peusijuk tiap wilayah di Aceh kadang beragam, sesuai dengan kebiasaan lokal masing-masing daerah. Namun, tujuan adat ini tetap sama, yaitu untuk berdoa mendapat keberkahan dan menjalin kedamaian antar sesama.

Tempat untuk menjalankan peusijuk dapat dilakukan di mana saja, selama bersih dan suci dari kotoran. Misalnya, di surau, masjid, rumah, balai desa, dan tempat lainnya yang dianggap sesuai dan memenuhi persyaratan.

Bagi masyarakat Aceh, arti sesungguhnya dari peusijuk adalah untuk memperoleh keberkahan dan ketenangan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Tujuan ini erat kaitannya dengan ajaran Islam, yaitu untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah SWT. Terutama untuk selalu memohon petunjuk dan anugrah dari Allah SWT, mengharapkan kebahagiaan dan ketentraman hidup, dan memohon maaf kepada sesama manusia agar tidak ada lagi pertikaian ditengah kehidupan bermasyarakat.

Penulis : Fajrul Hayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *